THE BANDUNG LIBRARY
Sebuah Manifesto
Rata-rata anak Indonesia membaca sekitar 27 halaman tiap tahunnya. UNESCO mencatat hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia punya kebiasaan membaca.
Ini tentu mengkhawatirkan. Tidak membaca artinya tidak belajar dengan baik. Tidak belajar artinya tidak berkembang. Tidak berkembang, artinya menghianati potensi diri yang sejatinya terpendam dalam kita semua.
Tingkat literasi yang rendah adalah persoalan kompleks dan multidimensi. Tidak sesederhana dapat dijelaskan dengan generasi muda yang banyak dituduh pemalas dan kecanduan gadget. Persoalan literasi rendah adalah soal pendidikan formal yang gagal menyisipkan dalam kurikulum sekolah, minat dan kebiasaan membaca; soal keterbatasan ekonomi yang menghambat akses kepada sumber bacaan; serta soal minimnya fasilitas publik yang mengisi kekosongan akses tersebut.
Kami percaya bahwa perpustakaan adalah bagian penting dari jawaban atas kemelut literasi kita.
Tentu kami tidak semata membicarakan gedung yang menyimpan banyak buku dan dapat disewa untuk keperluan serbaguna, namun berdebu dan sepi peminat. Kami membicarakan mimpi atas perpustakaan yang relevan, hidup dan berwarna. Yang ramai tak hanya dengan pengunjung yang tenang membaca, namun juga pengunjung yang berisik karena berkumpul, berbincang, bertukar ide, berimajinasi, dan mencari hiburan.
Perpustakaan adalah pusat ide, bukan buku
Lebih dari buku, perpustakaan harus mampu merayakan gagasan, aspirasi, dan imajinasi yang menjadi nyawa dari buku. Hal-hal yang membuat buku relatable dan berguna bagi pembacanya. Orwell, Pramoedya, Han Kang, atau Yu Hua mungkin hanya akan dikenal dan menarik untuk orang-orang yang memang sudah menggemari buku. Namun sejatinya, karya mereka memuat ide tentang keinginan manusia untuk menjadi bebas; tentang kesendirian yang sering mewarnai kehidupan modern; tentang naik turunnya peruntungan dalam hidup; serta tentang pusingnya menalar cinta dan hubungan antar sesama. Pergulatan yang dekat dan dialami kita semua.
Tentu, komitmen perpustakaan terhadap gagasan harus gamblang ditunjukkan. “show, don’t tell”, mantranya. Komitmen ini harus terpancar melalui komunikasi dan interaksi perpustakaan dengan khalayak publik. Apa yang menjadi titik berat komunikasi perpustakaan di media? Kegiatan apa yang diselenggarakan? Siapa mitra yang digandeng untuk meramaikan perpustakaan?
Perpustakaan adalah aktor penting dalam ekosistem budaya
Selain menjadi tempat ide dirayakan, perpustakaan seharusnya menjadi bagian vital dari ekosistem yang mendorong lahirnya karya seni budaya. Perpustakaan yang berhasil adalah yang aktif menyediakan fasilitas dan program yang mendukung penulis serta seniman lainnya. Program-program residensi, fellowship, workshop, serta produksi berbagai macam konten atau knowledge product adalah cara perpustakaan memberikan layanan kepada pekerja budaya.
Perpustakaan adalah ruang publik yang menjembatani pertemuan dan pertukaran lintas kelompok
Pada dasarnya, perpustakaan punya peran penting bagi kehidupan kota karena ia menjembatani terjadinya pertemuan dan pertukaran antar kelompok warga. Dalam bukunya The Great Good Place, sosiolog urban Ray Oldenburg mencanangkan istilah “Third Place”, ruang yang bukan rumah (first place) dan bukan juga tempat kerja (second place), dimana warga dapat berinteraksi tanpa ekspektasi yang mengikuti perannya di kedua tempat tersebut.
Keleluasaan untuk mencari hiburan murah, berkenalan dengan orang baru, bertukar pikiran, dan berkomunitas lah yang membuat perpustakaan menjadi Third Place yang penting bagi kehidupan warga yang dinamis dan harmonis.
Sekali lagi, tentu ini tidak berarti keberadaan perpustakaan akan secara otomatis membuatnya menjadi tempat yang seperti yang dibahas diatas.
Perpustakaan harus dengan sengaja dikelola untuk mencapai potensi optimalnya. Secara lebih teknis, ini artinya perpustakaan harus memikirkan dampak dari segala keputusannya terkait pengelolaan sumber daya manusia, pengadaan buku, komunikasi publik, program-program yang diselenggarakan, kemitraan yang dijajaki - terhadap efektivitasnya mengemban peran sebagai ruang publik yang mendidik dan menghibur publik yang ia layani.
Mengelola perpustakaan dengan baik membutuhkan kepakaran khusus. Kepakaran yang dikembangkan tidak hanya lewat pembelajaran atas teori, namun juga eksperimentasi.
Bagaimana cara memperkenalkan koleksi buku agar lebih banyak yang tertarik membaca? Bagaimana meningkatkan tingkat peminjaman buku? Bagaimana menghindari peminjam tidak mengembalikan buku? Keterampilan apa yang dibutuhkan pustakawan dan tenaga kerja perpustakaan agar ia dapat dengan efektif mengajak lebih banyak orang untuk membaca - selain hanya menjalani fungsi administrasi? Bagaimana agar lebih banyak penulis yang lahir? Berapa dana yang dibutuhkan perpustakaan mikro tiap tahunnya dan apa saja kebutuhannya? Bagaimana agar pendanaan perpustakaan dapat memastikan keberlanjutan dan juga independensi?
Semua itu adalah pertanyaan yang penting bagi perpustakaan. Komitmen kami, selain mengelola dan membesarkan perpustakaan kami, adalah untuk mendokumentasi sebaik dan serinci mungkin pembelajaran atas hal-hal tersebut. Agar pembelajaran kami, dapat berguna lebih luas untuk perpustakaan independen lain di Indonesia.